Selasa, Mei 01, 2012

Kebijakan BBM: Keberpihakan Pemerintah dan Pembangkangan Koalisi


Awal tahun 2012 ini, rakyat Indonesia sempat dibuat cemas oleh wacana kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), dimana kenaikan yang ditetapkan mencapai 30% dan pada  rencananya akan diberlakukan oleh pemerinah mulai tanggal 1 april 2012. Ditengah  hingar bingar kasus korupsi yang sedang marak-maraknya di kalangan pejabat pemerintah, ditengah berbagai rencana anggaran pengadaan barang fiktif di dalam DPR dengan angka fantastis, dan rencana renovasi yang akan dilaksanakan dalam gedung DPR yang mencapai triliunan, wacana naiknya harga BBM ini tentu saja membuat rakyat Indonesia cukup sakit untuk mengetahui kenyataan dan merasakan bahwa keputusan yang diambil oleh pemerintah sangat kurang berpihak pada mereka. Bayangkan saja apabila kenaikan BBM benar-benar diberlakukan, dari 4500 menjadi 6000 rupiah per liternya tentu saja akan berpengaruh pada harga-harga kebutuhan pokok menjadi ikut naik. Selain itu juga akan menyebabkan masyarakat berpenghasilan rendah untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Kondisi seperti ini akan semakin mencekik dan menyengsarakan rakyat terutama ekonomi menengah kebawah.


Dalam jangka pendek kenaikan harga BBM akan memberikan keguncangan perekonomian berupa tambahan tingkat inflasi  sebesar 2,15%, angka kemiskinan bertambah 0,98%, penurunan daya beli sebesar 2,10%, dan penghematan subsidi sebesar Rp 31, 58 triliun. Alasan pemerintah menaikkan harga BBM adalah sehubungan dengan asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil) mencapai angka sebesar USD 119/barel yang jauh dari asumsi pada APBN 2012 sebesar USD 90/barel (Wijayanto dan Lilia, 2012). Memutuskan Kebijakan kenaikan harga BBM bukanlah perkara mudah. Diperlukan adanya pembentukan jejaring kebijakan atau Policy Network dalam setiap tahap dari perumusan kebijakan BBM ini, agar Pemerintah tahu benar bagaimana seharusnya menyelesaikan masalah untuk mengatasi dan mengantisipasi harga minyak dunia yang semakin tinggi namun dengan kebijakan yang tetap berpihak pada rakyat.
Secara sederhana, kebijakan publik dapat diartikan sebagai keputusan atau tindakan yang diambil oleh pemerintah untuk menyelesaikan masalah menyangkut kepentingan publik. Kebijakan berasal dari kata policy yang pelaksanaannya mencakup peraturan-peraturan di dalamnya  dan sangat berkaitan dengan proses politik (Islamy, 2004:13). Didalam proses kebijakan telah termasuk didalamnya berbagai aktivitas praktis dan intelektual yang berjalan secara bersama-sama, pada praktik kebijakan publik antara lain dengan mengembangkan mekanisme jaringan aktor (actor networks). Cobb dan Elder (1972:85 dalam Parsons, 1997:127) menyatakan bahwa aktor kebijakan adalah komunitas kebijakan yang terdiri dari pemerintah, sekelompok publik yang berpartisipasi di bawah inisiator atau peminpin opini dengan tekanan media massa. Jejaring kebijakan atau Policy networks adalah suatu hubungan yang terbentuk akibat koalisi diantara aktor pemerintah, masyarakat termasuk privat. (Waarden, 1992 : 29-52 dalam Howlett dan Ramesh,1995 :130). Aktor kebijakan sering juga disebut sebagai stakeholders. Masing-masing policy network dapat memasukkan agenda mereka sebagai kepentingan organisasi dalam pengambilan keputusan kebijakan.

Dalam memutuskan kebijakan yang baik, diperlukan partisipasi dan peran dari para aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan yaitu State (pemerintah), private (sector swasta), dan civil society (masyarakat madani).. Hal ini dituntut menyangkut adanya reformasi birokrasi yang ada di Indonesia, dimana dalam pemerintahan tidak lagi hanya pemerintah yang menjadi agen tunggal dalam membuat maupun mengimplementasikan kebijakan, dan menerapkan Good Governance (Suwitri, 2012). Sekelompok aktor dalam stakeholder memiliki kepentingan masing-masing dan dapat menentukan keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan. Dengan partisipasi ketiga elemen stakeholder diatas, kebijakan yang diputuskan dapat benar-benar sesuai dengan kepentingan umum, dan tidak hanya menguntungkan satu pihak saja.

Seperti hal nya dalam kebijakan Pemerintah mengenai kenaikan harga BBM yang sempat meresahkan rakyat akhir-akhir ini, seharusnya pemerintah lebih transparan dan mampu menjelaskan ke publik alasan menaikkan harga BBM, hal ini karena pemerintah dinilai hanya mengikuti skenario pasar bebas saat menentukan harga BBM. Alasan pemerintah menaikkan BBM demi menyelamatkan perekonomian nasional kurang menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat. Apalagi Indonesia terikat dengan LoI (Letter of Intent) yang ditandatangani pemerintah Indonesia dengan International Monetery Fund (IMF). Isi perjanjian itu membuktikan berlakunya mekanisme pasar pada energi. Pemerintah tidak mampu menjelaskan dasar permasalahan rendahnya kesejahteraan masyarakat, kebijakan menaikkan harga BBM dengan dalih pengurangan subsidi, hanya akan semakin menunjukkan perekonomian Indonesia terperangkap dalam sistem neoliberal (Fachri, 2012).

Pimpinan Wilayah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PW IPM) Jabar, Nurhayati (2012) menyatakan secara tegas menolak kenaikan harga BBM memandang kenaikan harga BBM merupakan kebijakan yang dibuat untuk mengurangi subsidi BBM dan menyerahkan harga BBM sesuai harga pasar. Hal tersebut sejalan dengan kepentingan Pemodal Internasional dalam mendorong agenda “liberaliasi sektor energi (Migas dan Listrik)” di Indonesia. Kebijakan ini ditujukan untuk mendominasi sektor energi nasional dari hulu ke hilir. Kebijakan kenaikan harga BBM yang merupakan kebijakan liberalisasi, privatisasi, komersialisasi dan korporatisasi sektor energi di Indonesia yang merupakan pelanggaran konstitusi (UUD 1945) dan tidak berpihak kepada rakyat. Kebijakan itu adalah bentuk liberalisasi sektor migas yang konsisten memenuhi perintahnya pihak asing, dan menunjukkan bahwa pemerintah tunduk pada kebijakan makro Amerika Serikat (Fachri, 2012).

Kebijakan kenaikan harga BBM kurang merespon kebutuhan masyarakat, dan tidak membela kepentingan publik sehingga mendapat penolakan dari masyarakat. Berbagai penolakan terhadap kebijakan kenaikan BBM telah menunjukkan bahwa jejaring kebijakan belum terlaksana dengan baik di Negara berkembang seperti Indonesia. Terbukti dengan adanya demonstrasi dari berbagai kelompok massa, maupun kontra yang berasal dari partai koalisi di dalam tubuh pemerintahan itu sendiri. Selain demonstrasi mahasiswa dan penolakan dari sejumlah elemen sosial sepanjang wacana penaikan harga BBM, beberapa hal yang menunjukkan gagalnya tercipta jejaring kebijakan yaitu pertama, sikap sejumlah kepala daerah yang memilih berada di posisi menentang Pemerintah Pusat, dimana mereka menolak kenaikan BBM dan menyeberang ke sisi mahasiswa, serta meninggalkan suara tunggal pusat kekuasaan. Kedua, sikap menentang kenaikan BBM Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai parpol koalisi. Memang tidak wajar parpol dalam lingkar kekuasaan menunjukkan sikap berbeda di hadapan public (Regus, 2012).

Sabatier (1993) mengembangkan jejaring kebijakan dan menamakannya Advocacy Coalition, yaitu sekelompok pengambil kebijakan dalam sub system kebijakan. Koalisi Advokasi terdiri dari pelaku-pelaku dari sejumlah institusi swasta dan pemerintah dalam semua level organisasi pemerintah yang berhubungan atas dasar kepercayaan pada pencapaian tujuan dengan menyusun peraturan, anggaran, dan personil institusi pemerintah (Howlett dan Ramesh, 1995:125). Alasan yang mendasari koalisi para aktor dalam jejaring kebijakan menurut Sebatier adalah berhubungan atas dasar kepercayaan antar aktor privat dan publik dalam semua level organisasi pemerintah. Sesuai dengan jejaring kebijakan dalam koalisi advokasi, menunjukkan bahwa kebijakan kenaikan BBM yang diambil oleh pemerintah tidak mendapat dukungan dari sejumlah kepala daerah maupun partai koalisi di dalam pemerintahan sendiri.

Aktor utama dalam proses kebijakan kenaikan harga BBM adalah Pemerintah, dimana menurut pemerintah, apabila harga BBM tidak dinaikkan maka perekonomian nasional akan terganggu, proyek pembangunan pun akan terbengkelai. Sebagai bentuk kompensasi bagi masyarakat miskin akibat dampak kenaikkan BBM, maka keluarga atau rakyat miskin akan diberi bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebesar Rp.150 ribu per KK selama 10 bulan. Jumlah kucuran dana sebesar Rp.25,6 triliun cukup untuk 18,5 juta keluarga miskin. Itulah sebabnya perlu diadakan APBN P(erubahan) tahun 2012. Akibatnya, perlawanan sengit muncul dari aktor-aktor politik yang lain baik parpol maupun masyarakat. (Joko Siswanto: 2012)

Aktor kedua adalah partai politik yang sudah memposisikan sebagai oposan, yakni PDIP, Gerindra dan Hanura. Ketiga parpol mempunyai hitung-hitungan sendiri yang ujungnya tidak setuju kenaikkan harga BBM. Pemerintah mestinya kreatif dan masih dapat menempuh cara lain untuk mendapatkan sumber dana, misalnya perlu ada pemangkasan proyek pembangunan yang dinilai tidak menyentuh hajat hidup rakyat secara langsung, pengejaran uang hasil korupsi, efisiensi dalam penggunaan anggaran, konversi BBM dengan gas, dan lain-lain. Pendeknya, ketiga parpol tersebut memanfaatkan peluang rencana kenaikan BBM untuk dapat menyerang parpol yang berkuasa. Dengan membela rakyat, maka parpol akan mendapat simpati dengan harapan akan mendapatkan buah manis ketika Pemilu 2014. Selain parpol oposan yang sejak semula menentang kenaikkan BBM, ada beberapa parpol yang duduk dalam koalisi juga tidak setuju dengan kenaikkan BBM yakni PKS dan Golkar. Dari konteks etika dan komitmen berkoalisi dengan partai yang berkuasa (Demokrat), mestinya kedua partai tersebut mendukung rencana kebijakan Pemerintah bukan malah menentangnya. Partai koalisi yang lain (PPP, PAN, PKB) ikut terpengaruh untuk ikut menunda kenaikkan BBM (Joko Siswano: 2012).

Ketiga, aktor demonstran sangat beragam antara lain unsur mahasiswa, buruh, petani, karyawan, massa parpol, ormas, LSM, ibu-ibu rumah tangga, pedagang di pasar tradisional, dan masyarakat tanpa identitas yang jelas bahkan sejumlah kepala/wakil kepala daerah yang berasal dari partai oposan (PDIP) berbaur menjadi satu dengan tekad menentang kebijakan pemerintah agar harga BBM tidak naik (Joko Siswano: 2012)

Pembentukan jejaring kebijakan di Indonesia diawali dari kemunculan aktor kebijakan yang memiliki beragam kepentingan (Suwitri, 2012). Dalam hal kebijakan kenaikan harga BBM, kepentingan yang paling diserukan oleh kelompok masyarakat adalah penolakan terhadap kebijakan tersebut. Unjuk rasa banyak dilakukan oleh aktivis organisasi mahasiswa dan kelompok organisasi masyarakat sebagai kelompok penekan menuntut pembatalan kenaikan harga BBM. Namun yang kita terima saat ini hanyalah kekecewaan karena pemerintah secara resmi menunda pelaksanaan kebijakan tersebut, bukan membatalkannya. Padahal dalam pasal 33 UUD 1945 dikatakan, "Bumi, Air dan Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya dikuasai (dikelola) oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat." Jelaslah konstitusi negara menegaskan bahwa semua kekayaan alam tersebut dikuasai (dikelola) oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat, mengayomi, dan memberikan kemudahan bagi rakyat (Bukan malah rakyat ditindas bahkan diintimidasi agar selalu menjalankan peraturan dan ketetapan pemerintah yang selalu berseberangan dengan kehendak rakyat, termasuk menaikkan harga BBM. Lalu pemerintah berpihak kepada siapa?

Ketika Pemerintah resmi menunda kenaikan harga BBM bersubsidi, harga-harga kebutuhan sudah dan tetap naik. Namun anehnya pemerintah justru menyatakan bahwa kenaikan harga BBM tidak akan berimplikasi signifikan terhadap pertambahan jumlah rakyat miskin. Padahal tidak dapat dipungkiri bila BBM dinaikan, tentu saja TDL (Tarif Dasar Listrik) akan ikut naik, tarif angkutan umum, dan biaya untuk fasilitas kesehatan pun juga pasti mengalami kenaikan dan berimbas pada semua harga kebutuhan menjadi melambung. Kalau sudah seperti ini maka yang miskin akan semakin miskin. Pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dianggap pemerintah sebagai jalan keluar untuk mencegah meningkatnya jumlah rakyat miskin, justru hanya akan menurunkan derajat rakyat dan ini bukanlah solusi pengurangan rakyat miskin. Karena BLT hanyalah bersifat sementara dan instan. Pemerintah seharusnya memberikan fasilitas yang memadai, infrastruktur yang baik, dan lapangan pekerjaan bagi rakyat Indonesia, dengan cara inilah rakyat akan dimudahkan dalam upaya peningkatan kesejahteraannya (Pambagio, 2012).

Apabila kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM benar-beanar terlaksana, dimana pada sidang paripurna DPR tanggal 30 Maret yang lalu telah diputuskan bahwa pada rencananya akan diberlakukan enam bulan kemudian, tentu akan menimbulkan adanya kesenjangan sosial yang semakin melebar. Tidak terbantahkan bahwa bantuan langsung tunai adalah senjata rahasia rezim berkuasa. Ini dapat dimengerti karena kemarahan sosial yang meluas, terutama pada lapisan paling bawah akan mengancam kekuasaan. Efektivitas koalisi politik dalam pemerintahan pun juga menunjukkan teterpurukannya dalam soliditas merumuskan kebijakan harga BBM. Pembangkangan politik sejumlah kepala daerah, etika politik yang belum beres, meluasnya ketidakpuasan politik publik akan menjadi pangkal dari protes politik berkepanjangan (Regus, 2012). Hal ini seperti menunjukkan bahwa penguasa rezim saat ini telah mengabaikan kepercayaan rakyat, dan tidak mampu menegakkan keadilan sosial. Para stakeholder harus memahami dan mengerti benar posisi mereka sebagai kelompok penekan dalam kebijakan, bahwa mereka memiliki andil untuk ikut serta merumuskan kebijakan yang baik dan untuk keberhasilannya sesuai tujuan bersama. Selain itu harus ditekankan pula bahwa kebijakan yang diputuskan harus kebijakan yang pro rakyat, untuk kepentingan umum dan kepentingan rakyat banyak, tidak semata-mata hanya menguntungkan satu pihak saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar